adab zakat bagian 5
Selain itu, Allah SWT juga telah memuji hamba-hamba-Nya,
karena amalan baik mereka di dalam beberapa ayat di dalam kitab-Nya. Namun, Dia
telah menentukan bahwa Dialah yang menakdirkan semua itu, yaitu di antaranya:
“...Sesungguhnya kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS Shaad [38]: 44) “Dan
Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba.
Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS Shaad [38]: 30)
Di antara cara menyempurnakan syukur ialah dengan menutupi
aib atau cacat-cacat dari suatu pemberian. Apabila menemukan cacat tersebut,
janganlah sampai menghina atau mencacinya. Adapun jika ia tidak mau menerimanya
karena hal itu, janganlah ia mengatakan kata-kata yang tidak baik apalagi
menghina orang yang memberinya. Tetapi, ia mesti menunjukkan kebesaran hatinya
atas pemberian tersebut dan menganggapnya sangat besar artinya. Jelasnya,
memang bagi si pemberi hendaknya memandang kecil atas segala pemberiannya,
tetapi bagi si penerima hendaknya menghargai dan mensyukuri kenikmatan itu
sekaligus menganggapnya sebagai sesuatu pemberian yang besar.
3. Hendaknya ia meneliti zakat yang diterimanya, apakah dari
harta yang halal atau haram. Jika bukan dari harta yang halal, hendaknya ia
bersikap wara’ (menjauhkan diri dari memakan harta yang diharamkan Allah).
Janganlah menerima zakat dari orang yang dihasilkan dari perusahaan yang
beraktivitas di dalam usaha yang mengandung perkara haram.
4. Hendaknya ia memelihara dari perkara-perkara yang
membuatnya tergelincir ke dalam keraguan dan kesyubhatan dalam kadar zakat yang
diambilnya, yakni jangan sampai menerima kecuali dalam kadar yang harus
diterimanya. Dan, hendaknya ia tidak menerima zakat, kecuali ia sudah yakin
bahwa dirinya termasuk dari salah satu asnaf yang delapan yang telah di
tentukan syariat. Apabila ia telah meyakini ini, hendaknya ia juga tidak
mengambil atau menerima kadar melebihi dari sekadar keperluannya saja. Paling
banyak, ia boleh mengambil untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dalam masa
setahun saja. Itulah kadar yang paling tinggi yang dibenarkan oleh syara’.
Sebab, Rasulullah saw sendiri hanya menyimpan perbelanjaan untuk tanggung
jawabnya hanya untuk masa satu tahun.
Ada beberapa pendapat ulama yang mengatakan bahwa si fakir
miskin hanya dibolehkan mengambil zakat sekadar ia bisa membeli sebidang tanah
yang sederhana, sehingga dengan tanah itu, ia bisa mendapatkan penghasilan
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, dan ia tidak perlu lagi meminta-minta atau
mengambil zakat dari orang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa dibolehkan
mengambil zakat sekadar untuk dijadikan modal perdagangan, agar sesudahnya ia
tidak perlu lagi mengambil zakat untuk mencukupi kebutuhannya. Umar bin Khathab
r.a telah berkata, “Apabila kamu memberi, maka hendaklah kamu memberi sekadar
mencukupi hajat orang itu, sampai ia tidak memerlukannya lagi.”
5. Hendaknya si penerima zakat tidak mengumbar-umbar
keperluannya dan jangan terlalu banyak mengadu atau meminta. Hendaknya mereka
menjaga martabatnya (muru`ah), dan memasukkan diri kepada salah satu golongan
yang memelihara diri dari meminta-minta, sehingga orang-orang menyangkanya
bahwa ia adalah orang kaya, sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah
SWT: “... orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara
diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka
tidak meminta kepada orang secara mendesak....” (QS Al-Baqarah [2]: 273)
Sumber : http://www.smbcumrohhaji.co.id/
Artikelnya bermanfaat buat saya, visit juga ya http://umroh-surabaya-2013.blogspot.com/
BalasHapus