Tingkat kesadaran mengenai Zakat
Barangkali semua
bentuk penghasilan yang tergolong
menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesi masing-masing
.Pekerjaan yang mampu menghasilkan
materi( uang )ada dua macam. Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri
tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak.
Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan
penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur,
advokat seniman, penjahit,
tukang kayu ,supir,tukang jamu ,tellerdan lain-lainnya.
Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat
pihak lain-baik pemerintah,
perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang
diberikan, dengan tangan, otak,
ataupun kedua- duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti
itu berupa gaji, upah, ataupun
honorarium,payment.
Benarkah Ada keWajiban unutk megeluarkan zakat untuk kedua macam penghasilan yang berkembang
sekarang itu
ataukah tidak ada kewajiban ?
Bila memang tergolong wajib, berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana tinjauan ilmu fikih Islam
Bila memang tergolong wajib, berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana tinjauan ilmu fikih Islam
tentang
masalah-masalah itu?
Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu sekali memperoleh jawaban pada masa
sekarang, supaya setiap kaum muslim
mengetahui kewajiban dan haknya.
Bentuk-bentuk penghasilan dengan bentuknya ,yang modern, volumenya yang besar,
dan sumbernya yang luas itu, merupakan sesuatu yang
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. al-Baqarah[2]: 267).
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. al-Baqarah[2]: 267).
Arti ayat di atas menjelaskan bahwa sebagian dari hasil
usaha (harta) yang kita (anda dan saya)
peroleh melalui pekerjaan-pekerjaan kita wajib kita nafkahkan (keluarkan
zakatnya/di bayarkan zakatnya ). Harta yang kita miliki, pada hakikatnya adalah
milik Allah SWT.
Allah-lah yang kemudian melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, harta(hasil usaha ) dalam pandangan Islam adalah amanah yang di berikan pada hamba nya olehAllah SWT. Di sinilah sikap amanah harus dipupuk, sebab seorang muslim dituntut menyampaikan amanah kepada ahlinya. Di dalam khazanah hukum Islam barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya terbagi dua. Yaitu yang sudah terdapat kesepakatan ‘ulama ( ijma’) dan yang masih diperselisihkan (ikhtilaf).
YANG PERTAMA
adalah barang-barang yang dijelaskan secara eksplisit di dalam teks hadits, seperti zakat pertanian, peternakan, emas dan perak, perdagangan dan harta temuan ( rikaz). Barang-barang tersebut sudah dijelaskan secara terperinci, baik mengenai kadar nishab-nya maupun kadar zakatnya. Sedangkan yang kedua adalah yang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam teks, yang merupakan perkembangan masyarakat, seperti zakat profesi dan jenis-jenis usaha baru yang menjanjikan[2].
Yang kedua
ini adalah merupakan wilayah ijtihad, sehingga wajar jika terjadi perbedaan di antara ‘ulama. Untuk bagian yang kedua ini pada umumnya ‘ulama mengambil dalil keumuman petunjuk Surat al-Baqarah (2): 267 sebagaimana disebutkan diatas. Makalah ini akan mencermati bentuk yang kedua, yaitu barang yang masih diperselisihkan oleh ‘ulama mengenai kewajiban zakatnya, khususnya zakat profesi.
Allah-lah yang kemudian melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, harta(hasil usaha ) dalam pandangan Islam adalah amanah yang di berikan pada hamba nya olehAllah SWT. Di sinilah sikap amanah harus dipupuk, sebab seorang muslim dituntut menyampaikan amanah kepada ahlinya. Di dalam khazanah hukum Islam barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya terbagi dua. Yaitu yang sudah terdapat kesepakatan ‘ulama ( ijma’) dan yang masih diperselisihkan (ikhtilaf).
YANG PERTAMA
adalah barang-barang yang dijelaskan secara eksplisit di dalam teks hadits, seperti zakat pertanian, peternakan, emas dan perak, perdagangan dan harta temuan ( rikaz). Barang-barang tersebut sudah dijelaskan secara terperinci, baik mengenai kadar nishab-nya maupun kadar zakatnya. Sedangkan yang kedua adalah yang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam teks, yang merupakan perkembangan masyarakat, seperti zakat profesi dan jenis-jenis usaha baru yang menjanjikan[2].
Yang kedua
ini adalah merupakan wilayah ijtihad, sehingga wajar jika terjadi perbedaan di antara ‘ulama. Untuk bagian yang kedua ini pada umumnya ‘ulama mengambil dalil keumuman petunjuk Surat al-Baqarah (2): 267 sebagaimana disebutkan diatas. Makalah ini akan mencermati bentuk yang kedua, yaitu barang yang masih diperselisihkan oleh ‘ulama mengenai kewajiban zakatnya, khususnya zakat profesi.
. Hal ini tentu akan berpengaruh dalam praktek dan
pelaksanaannya. Potensi zakat di Indonesia, berdasarkan hasil survey PIRAC
(Public Interest Research and Advocacy Center)
mengatakan potensi dana zakat di Indonesia, yang populasinya sekitar 87
persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada 2007.
Potensi ini meningkat 4,64 triliun dibanding tahun 2004 yang potensinya hanya
sebesar 4,45 triliun. Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa potensi
zakat di Indonesia mencapai Rp 20 triliun per tahun. Namun dari jumlah itu,
yang tergali baru Rp 500 miliar per tahun (berdasarkan asumsi tahun 2006).
Sementara itu, untuk menumbuhkan dan menggalakkan kesadaran
zakat di Indonesia, telah banyak terbit Peraturan Daerah (PERDA) Zakat di
beberapa daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Tentunya hal ini adalah salah
satu upaya mengoptimalkan pemungutan
serta pendayagunaan zakat. Keberadaan Undang-undang No. 38 Thn 1999 tentang Pengelolaan
Zakat dan UU No. 32 Thn 2004 tentang Otonomi daerah cukup menyulutkan kehadiran
PERDA ini di beberapa daerah. Menurut Institut Manajemen zakat (IMZ) sedikitnya ada 24 daerah yang telah memiliki
PERDA Zakat[3]. Kita bisa menyebut
contoh , seperti di Lombok Timur, Kutai Kartanegara Kalimantan Timur,
Tangerang, dan Cilegon. Hal ini merupakan keberhasilan yang harus diapresiasi mengingat kesadaran
berzakat di Indonesia masih sangat rendah.
Artikelnya bermanfaat buat saya, visit juga ya http://shalat-wajib-fardlu.blogspot.com/
BalasHapus