Zakat merupakan ibadah mahdah dan ibadah mu`amalah
ijtima`iyyah, atau ta`abbudi (perihal yang dogmatis) dan ta`aqquli (perihal
yang rasional) yang ijtihad dan qiyas
berlaku di sana, maka hukumnya harus selalu dinamis, aktual, universal, dan
kondisional sesuai dengan kebutuhan manusia sebagai objek dan subjeknya. Yakni
manusia sebagai pemberi dan penerima zakat, maka hukumnya harus aktual dan
dinamis. Untuk itu dapat dilakukan rekonseptualisasi, redefinisi dan
re/interpretasi terutama pada aspek-aspek substansi yang mengandung muatan
dilalah zanniyyah dan umum (`am). Nas-nas
normatif yang melandasi konsep teoritik mengenai jenis harta kekayaan wajib
zakat hanya mengemukakan ketentuan secara umum tentang jenis harta yang wajib
dizakati dengan menggunakan kata amwal yang bermakna segala jenis harta,
meskipun dalam Hadith, Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan beberapa nama dan
jenis harta yang wajib dizakati seperti emas dan perak, harta perdagangan,
hewan ternak, hasil pertanian dan rikaz ma`adin. Dari lima jenis harta yang
disebutkan oleh Hadith dan dalam kitab-kitab fiqih klasik pada umumnya adalah
bersifat kondisional dan terbatas. Penyebutan jenis harta kekayaan tersebut
bukan sebagai penetapan yang mengecualikan, sehingga harta kekayaan lainnya
tidak tergolong ke dalam jenis-jenis kekayaan yang dikenakan zakat.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tingkat pertumbuhan ekonomi modern, muncul pula berbagai jenis harta
kekayaan baru yang lebih potensial dan produktif, baik berupa hasil penggalian
potensi alam atau hasil eksploitasi kekayaan maupun hasil potensi sumberdaya
manusia, meskipun jenis dan nama harta itu tidak disebutkan secara eksplisit
dalam al-Qur`an dan Hadis.
Kitab Fiqh al-Zakat karya Yusuf Qaradawi, dianggap sebagai
salah satu karya ulama kontemporer yang representatif karena telah memuat
beberapa persoalan- persoalan baru di bidang zakat yang muncul di kalangan umat
Islam dewasa ini. Dari segi jenis harta kekayaan wajib zakat, Yusuf Qaradawi
telah menjawab beberapa persoalan kekinian yang muncul kepermukaan, yaitu di
mana beliau telah memasukkan produk-produk modern sebagai harta kekayaan yang
wajib dikeluarkan zakat, seperti zakat saham dan obligasi, zakat penghasilan
usaha profesi, zakat kekayaan investasi, dan lainnya. Batasan makna harta
kekayaan wajib zakat diperluas cakupannya oleh Yusuf Qaradawi sehingga seluruh
kekayaan yang bernilai, produktif dan mendatangkan keuntungan wajib dikenakan
zakat.
Beranjak dari kenyataan di atas, penelitian ini berusaha
menemukan metode istinbat yang digunakan Yusuf Qaradawi dalam menetapkan suatu
hukum, dalil-dalil yang digunakan serta sejauh mana validitas dan konsistensi
penerapan metode istinbat dalam memahami dalil tersebut untuk menghasilkan
suatu hukum, terutama produk hukum yang berkaitan dengan zakat kekayaan
investasi yang distilahkannya dengan zakat al-mustaghallat al-`imarat wa
al-masani` wa nahwiha.
Kesimpulan bahwa Qaradawi menggunakan metode qiyas dalam memperluas cakupan makna harta kekayaan
wajib zakat, dengan melihat `illatnya yaitu al-nama` (berkembang dan
produktif). Hal ini berawal dari metode bayani yakni didasarkan pada
keumuman ayat-ayat yang berhubungan
dengan harta kekayaan wajib zakat yang telah disebutkan secara qat`i oleh dalil-dalil
nas, kemudian kesimpulan dari bayani dita`lilikan. Di samping itu Qaradawi menggunakan penalaran
istislahi yaitu dengan mendeduksi tujuan-tujuan disyariatkan zakat secara umum.
Dengan mendasari pada metode dan `illat yang dijadikan
alasan pada ketetapan kewajiban zakat kekayaan investasi, disimpulkan bahwa
zakat kekayaan investasi dari segi persyaratan hawl diqiyaskan dengan zakat
pertanian yaitu zakatnya dipungut pada saat menerima penghasilan atau
keuntungan. Dari segi ketentuan nisabnya diqiyaskan dengan zakat uang.
Sedangkan dari segi kadar pungutannya dengan ketentuan angka yang bervariasi
yaitu antara: 10 %, 5 % , atau 2,5 %.
ZAKAT INVESTASI DALAM
FIQH
dalam istilah fiqh biasa disebut zakat “Almustaghillat”.
Zakat tersebut dikenakan terhadap harta yang diperoleh dari
hasil investasi.
Diantara bentuk usaha yang termasuk investasi adalah;
bangunan atau kantor yang disewakan, saham, rental mobil, rumah kontrakan, dll.
Sebagian ulama Hanbali menganalogikan ke dalam zakat
perdagangan, dengan tarif 2,5 % dan nishab 85 gram serta sampai haul.
Analogi Zakat Investasi
Sebagian ulama Maliki dan salaf seperti Ibnu Masud, Ibnu
Abbas, dll menganalogikannya ke dalam zakat uang tapi diambil dari hasilnya
saja, tanpa mensyaratkan haul dikeluarkan ketika menerimanya.
Para ulama kontemporer, seperti Abu Zahrah, Abdul wahab
Kholaf, dan Yusuf Qordhowi, menganalogikannya ke dalam zakat pertanian yaitu
dikeluarkan saat menghasilkan dari hasilnya, tanpa memasukkan unsur modal
dengan tarif 5 % untuk penghasilan kotor dan 10 % untuk penghasilan bersih.
Jika anda ingin tahu lebi jelas silahkan klik disini
Jika anda ingin tahu lebi jelas silahkan klik disini
Sumber :
Sumber : pps.ar-raniry.ac.id
:www.subkialbughury.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar