Pengertian Zakat Profesi
Zakat profesi dikenal dengan istilah zakah rawatib
al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan
al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta)[4]. Zakat profesi
didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian
profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang atau
lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab.
Zakat profesi merupakan perkembangan kontemporer
yaitu disebabkan adanya profesi-profesi modern yang sangat mudah menghasilkan uang. Misalnya profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. Kenyataan membuktikan bahwa pada akhir-akhir ini banyak orang yang karena profesinya, dalam waktu yang relatif singkat, dapat menghasilkan uang yang begitu banyak. Kalau persoalan ini dikaitkan dengan pelaksanaan zakat yang berjalan di masyarakat maka terlihat adanya kesenjangan atau ketidakadilan antara petani yang memiliki penghasilan kecil dan mencurahkan tenaga yang banyak dengan para profesional misalnya dokter, akuntan, konsultan, notaris, dan insinyur yang hanya dalam waktu relatif pendek memiliki hasil yang cukup besar tanpa harus mencurahkan tenaga yang banyak. Adapun pekerjaan atau keahlian profesional tersebut bisa dalam bentuk usaha fisik, seperti pegawai atau buruh, usaha pikiran dan ketrampilan seperti konsultan, insinyur, notaris dan dokter, usaha kedudukan seperti komisi dan tunjangan jabatan, dan usaha lain seperti investasi. Hasil usaha profesi juga bisa bervariasi, misalnya hasil yang teratur dan pasti setiap bulan, minggu atau hari seperti upah pekerja dan pegawai atau hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti, seperti kontraktor dan royalti pengarang. adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila telah mencapai nisab. Profesi tersebut misalnya pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, dan wiraswasta.
yaitu disebabkan adanya profesi-profesi modern yang sangat mudah menghasilkan uang. Misalnya profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. Kenyataan membuktikan bahwa pada akhir-akhir ini banyak orang yang karena profesinya, dalam waktu yang relatif singkat, dapat menghasilkan uang yang begitu banyak. Kalau persoalan ini dikaitkan dengan pelaksanaan zakat yang berjalan di masyarakat maka terlihat adanya kesenjangan atau ketidakadilan antara petani yang memiliki penghasilan kecil dan mencurahkan tenaga yang banyak dengan para profesional misalnya dokter, akuntan, konsultan, notaris, dan insinyur yang hanya dalam waktu relatif pendek memiliki hasil yang cukup besar tanpa harus mencurahkan tenaga yang banyak. Adapun pekerjaan atau keahlian profesional tersebut bisa dalam bentuk usaha fisik, seperti pegawai atau buruh, usaha pikiran dan ketrampilan seperti konsultan, insinyur, notaris dan dokter, usaha kedudukan seperti komisi dan tunjangan jabatan, dan usaha lain seperti investasi. Hasil usaha profesi juga bisa bervariasi, misalnya hasil yang teratur dan pasti setiap bulan, minggu atau hari seperti upah pekerja dan pegawai atau hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti, seperti kontraktor dan royalti pengarang. adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila telah mencapai nisab. Profesi tersebut misalnya pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, dan wiraswasta.
Adapun orang orang yang mensyariatkan zakat profesi
memiliki alasan sebagai berikut: Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu. Oleh karena itu pembahasan mengenai tipe zakat profesi tidak dapat dijumpai dengan tingkat kedetilan yang setara dengan tipe zakat yang lain. Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.
memiliki alasan sebagai berikut: Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu. Oleh karena itu pembahasan mengenai tipe zakat profesi tidak dapat dijumpai dengan tingkat kedetilan yang setara dengan tipe zakat yang lain. Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.
Referensi dari Al Qur'an mengenai hal ini dapat ditemui pada
surat Al Baqarah ayat 267:
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"
Waktu Pengeluaran ZAKAT PROFESI
Berikut adalah beberapa perbedaan pendapat ulama mengenai
waktu pengeluaran dari zakat profesi:
Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup
setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat
Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh
Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal
dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta
dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
Pendapat ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak
mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta
tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap
waktu panen. (haul:lama pengendapan harta)
Nisab
Nisab zakat pendapatan/profesi mengambil rujukan kepada
nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara
dengan 520 kg beras. Hal ini berarti bila harga beras adalah Rp 4.000/kg maka
nisab zakat profesi adalah 520 dikalikan 4000 menjadi sebesar Rp 2.080.000.
Namun mesti diperhatikan bahwa karena rujukannya pada zakat hasil pertanian
yang dengan frekuensi panen sekali dalam setahun, maka pendapatan yang
dibandingkan dengan nisab tersebut adalah pendapatan selama setahun.
Kadar Zakat
Penghasilan profesi dari segi wujudnya berupa uang. Dari
sisi ini, ia berbeda dengan tanaman, dan lebih dekat dengan emas dan perak.
Oleh karena itu kadar zakat profesi yang diqiyaskan dengan zakat emas dan
perak, yaitu 2,5% dari seluruh penghasilan kotor. Hadits yang menyatakan kadar
zakat emas dan perak adalah:
“Bila engkau memiliki 20 dinar emas, dan sudah mencapai satu
tahun, maka zakatnya setengah dinar (2,5%)” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan
Al-Baihaqi).
Perhitungan Zakat
Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan
kotor seara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih
tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh:
Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar
zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.
Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5%
dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil
diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan
penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp
1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X
(1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.
Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Jika kita mengikuti pendapat ulama yang mewajibkan zakat
penghasilan, lalu bagaimana cara mengeluarkannya? Dikeluarkan penghasilan
kotor (bruto) atau penghasilan bersih
(neto)? Ada tiga wacana tentang bruto atau neto seperti berikut ini.
Dalam buku Fiqh Zakat karya DR Yusuf Qaradlawi.
bab zakat profesi dan penghasilan, dijelaskan tentang cara mengeluarkan zakat penghasilan. Kalau kita klasifikasi ada tiga wacana:
bab zakat profesi dan penghasilan, dijelaskan tentang cara mengeluarkan zakat penghasilan. Kalau kita klasifikasi ada tiga wacana:
1. Pengeluaran bruto,
yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan yang mencapai nisab 85 gr emas dalam jumlah setahun, dikeluarkan 2,5 % langsung ketika menerima sebelum dikurangi apapun. Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah x 12 bulan = 24 juta, berarti dikeluarkan langsung 2,5 dari 2 juta tiap bulan = 50 ribu atau dibayar di akhir tahun = 600 ribu.
yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan yang mencapai nisab 85 gr emas dalam jumlah setahun, dikeluarkan 2,5 % langsung ketika menerima sebelum dikurangi apapun. Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah x 12 bulan = 24 juta, berarti dikeluarkan langsung 2,5 dari 2 juta tiap bulan = 50 ribu atau dibayar di akhir tahun = 600 ribu.
Hal ini juga berdasarkan pendapat Az-Zuhri dan ‘Auza’i,
beliau menjelaskan: “Bila seorang memperoleh penghasilan dan ingin
membelanjakannya sebelum bulan wajib zakat datang, maka hendaknya ia segera
mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari membelanjakannya” (Ibnu Abi
Syaibah, Al-mushannif, 4/30). Dan juga menqiyaskan dengan beberapa harta zakat yang langsung dikeluarkan
tanpa dikurangi apapun, seperti zakat ternak, emas perak, ma’dzan dan rikaz.
2. Dipotong oprasional kerja,
yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang mencapai nisab, maka dipotong dahulu dengan biaya oprasional kerja. Contohnya, seorang yang mendapat gaji 2 juta rupiah sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak 500 ribu, sisanya 1.500.000. maka zakatnya dikeluarkan 2,5 dari 1.500.000= 37.500,-
yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang mencapai nisab, maka dipotong dahulu dengan biaya oprasional kerja. Contohnya, seorang yang mendapat gaji 2 juta rupiah sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak 500 ribu, sisanya 1.500.000. maka zakatnya dikeluarkan 2,5 dari 1.500.000= 37.500,-
Hal ini dianalogikan dengan zakat hasil bumi dan kurma serta
sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan lebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari
sisanya. Itu adalah pendapat Imam Atho’ dan lain-lain. Dari zakat hasil bumi
ada perbedaan prosentase zakat antara yang diairi dengan hujan yaitu 10% dan melalui irigasi 5%.
3. Pengeluaran neto atau zakat bersih,
yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nisab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan, hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperluan dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya. Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nisab, maka wajib zakat, akan tetapi kalau tidak mencapai nisab tidak wajib zakat, karena dia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat) bahkan menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) karena sudah menjadi miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.
yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nisab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan, hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperluan dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya. Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nisab, maka wajib zakat, akan tetapi kalau tidak mencapai nisab tidak wajib zakat, karena dia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat) bahkan menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) karena sudah menjadi miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat imam Al-Bukhari dari
Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: “…. dan paling baiknya zakat itu
dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan…”.[10]
KESIMPULAN ARTIKEL
KESIMPULAN ARTIKEL
Kesimpulan, seorang yang mendapatkan penghasilan halal dan
mencapai nishab (85 gr emas) wajib mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan
setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan
kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain. Ini lebih afdlal (utama) karena
khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tidak dizakati, tentu akan mendapatkan
adzab Allah baik di dunia dan di akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat
itu ta’bbudi (pengabdian kepada Allah SWT) bukan hanya sekedar hak
mustahiq.[11] Tapi ada juga sebagian pendapat ulama membolehkan sebelum
dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya oprasional kerja atau kebutuhan pokok
sehari-hari.
Sumber : http://www.smbcumrohhaji.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar